Posisi marketing communication atau sering disebut marketing memang salah satu pekerjaan yang memiliki kebutuhan market tinggi. Maksudnya, setiap perusahaan kemungkinan besar akan membutuhkan seseorang untuk duduk posisi ini. Ditambah di masa serba digital seperti ini, marketing tidak hanya bicara iklan above the line atau below the line saja, tapi adanya kebutuhan untuk membentuk komunitasnya sendiri.
Kebutuhan yang besar ini juga menghasilkan minat yang besar pula. Selain itu, iming-iming di media sosial tentang benefit digital marketing yang dapat bekerja tanpa perlu ke kantor, dan keuntungan yang cukup tinggi semakin menjadikan posisi ini semakin diminati. Sayangnya, sebagaimana pekerjaan lainnya, marketing communication memiliki kekurangan dan tantangannya sendiri.
Perlu dicatat bahwa apapun yang ditulis dalam artikel ini bersifat hasil observasi dan komparasi selama 3 tahun. Apapun yang dituangkan penulis di sini bisa saja kurang akurat karena keterbatasan bahasa dan kata-kata untuk menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi.
Jika penelitian ilmiah dapat memiliki kekurangan dan keterbatasannya, penulis juga menyadari tulisan observasi ini memiliki keterbatasannya sendiri. Kendati demikian, penulis berharap tulisan ini dapat dijadikan rujukan bahan pertimbangan bagi siapapun yang tertarik berkarir atau melanjutkan karir di bidang pekerjaan ini, khususnya di bidang komunikasi, entah di sektor korporat atau pemerintahan, dan lainnnya.
Mulai dari setelah paragraf ini, izinkan penulis menjabarkan hasil observasi dalam sudut pandang orang pertama.
Menjelajah Laut Tanpa Kompas dan Peta
Sebelum mulai berkarir, yang paling pertama saya sadari adalah pekerjaan marketing communication memiliki peminat yang cukup tinggi. Inilah alasan mengapa 4 tahun sebelum mulai terjun di lautan profesional, saya sudah meningkatkan kualifikasi, seperti aktif melakukan magang, webinar-webinar pemasaran digital, dan membantu beberapa pihak secara lepas (freelance).
Kegiatan tersebut saya lakukan sembari berkuliah komunikasi di Surabaya. Sejujurnya, saya tidak menaruh harapan terlampau tinggi di bidang ini, karena tujuan utama saya adalah mendalami ilmu dan praktiknya. Di luar dugaan, universitas tempat saya menempuh pendidikan, Universitas Widya Mandala Surabaya, memberikan kualitas ilmu yang sangat cukup, terlebih keseriusan para pendidiknya dalam membimbing mahasiswanya.
Tepat awal 2021, saya lulus pendidikan dan resmi bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi. Kelulusan ini juga di luar perhitungan, karena saya lulus dengan posisi sudah bekerja full-time secara jarak jauh di perusahaan rintisan teknologi 6 bulan sebelumnya.
Awalnya memang terasa mulus, karena saya bekerja di bidang strategis alias salah satu dari tim penasehat, analisator, dan evaluator yang memberikan insight ke decision maker terkait pemasaran dan branding. Dikatakan mulus karena apa yang saya dapat ketika kuliah dan freelance sebelumnya dapat diimplementasikan di pekerjaan ini.
Namun, yang saya terlambat menyadari bahwa keadaan ini tidak selalu sama di perusahaan lain. Pemimpin tim yang pas juga tidak selalu ditemukan di setiap perusahaan. Perusahaan yang terstruktur dan siap membangun tim marketing pun tidak selalu ada.
Tepat setelah 8 bulan, perusahaan tersebut berhenti beroperasi karena masalah finansial, dan saya mulai mencari peluang di perusahaan baru. Selama perjalanan ini, saya berpetualang dalam 3 perusahaan, secara bersamaan dan berganti-gantian.
Observasi ini pun berjalan selama 2 tahun setelah pekerjaan pertama tersebut. Observasi ini membawa saya pada satu kesimpulan awal, setiap perusahaan pasti membutuhkan tim pemasaran atau marketing communication atau public relations, sayangnya tidak setiap perusahaan siap membangun tim tersebut.
Sebagaimana sebuah perusahaan bekerja, pemasaran adalah tim yang akan terus membutuhkan dana untuk bergerak. Selain itu, membutuhkan daya manusia untuk menggerakkan dana tersebut. Kedua pihak ini memiliki hubungan satu sama lain yang seharusnya berjalan secara harmoni.
Sayang seribu kali sayang, perusahaan biasanya terlalu cepat memutuskan untuk memiliki tim marketing communcation tanpa memikirkan bagaimana tim tersebut bergerak nantinya. Sehingga perusahaan hanya bisa menuntut inisiatif dari karyawannya akibat terdesak persaingan pasar.
Salah satu alasan terjadinya ketidakharmonisan ini adalah terlalu besarnya laut yang ingin dijelajah perusahaan tersebut. Maksudnya, perusahaan sendiri terkadang terlalu fokus pada tujuan besarnya, earning income, tanpa memperhitungkan tujuan kecil-kecil yang harus dilalui.
Di sisi lain, karena tingginya animo menjadi seorang marketing communication, karyawan yang baru terjun di bidang ini dan datang dari berbagai ilmu juga cukup kesulitan menjelaskan alasan di balik besarnya kebutuhan SDM, material, dan waktu ketika pemasaran.
Dua paket combo ini bertemu dan terjadilah konflik yang tak kunjung usai dari perusahaan dan divisi marketing communication.
Tantangan lainnya juga tentang diskusi dalam satu tim ketika melihat masalah. Marketing, apalagi branding terkadang bisa jadi sangat subjektif. Jika komunikasi dalam tim cukup berlapis, maka penyelesaian masalahnya bisa cukup memakan waktu.
Melihat hal tersebut dan menyadari bahwa spelisasi marketing saya cukup spesifik, yaitu krisis komunikasi dan evaluasi trend, saya memberanikan diri terjun di bidang non korporat.
Sebagaimana karyawan lainnya, kekhawatiran tidak fit-nya spelisasi saya dan kebutuhan perusahaan tentu ada, syukurnya hal itu justru tidak terjadi. Namun, ada hal lain yang akhirnya mengetuk kesadaran saya, yaitu perusahaan yang baru merintis tim marketing bukan tempat belajar dan eksplorasi.
Mengasah Pisau Butuh Pengasah yang Siap
Jika bisa mengulang waktu, saya memang tidak tertarik mengubah apapun. Namun, jika bisa mencegah hal itu terjadi pada orang lain, maka sebisa mungkin saya akan mengulurkan tangan sebagai bentuk rasa syukur atas apa yang bisa saya rasakan selama berkarir yang masih seumur biji jagung ini.
Sebagaimana yang saya jabarkan di atas, perusahaan rintisan, atau perusahaan lama yang baru merintis tim pemasaran, kurang cocok dijadikan tempat singgah di awal berkarir. Selain karena kurangnya kesadaran atas market produk mereka, dana yang disiapkan cenderung tidak ada, alias bersifat pengajuan.
Selama masa observasi di 3 perusahaan tersebut, saya sempat bergabung dalam salah satu unit dari group developer ternama. Karena berpengalaman di perusahaan rintisan, akhirnya saya bisa membandingkan kelebihan dan kekurangan di antara keduanya.
Uang bukan masalah, karena sudah ada anggaran tahunan untuk kegiatan marketing, namun jangan tanya masalah waktu yang dihabiskan.
Sebagaimana seorang yang sedang belajar, waktu adalah harga yang harus dibayar. Sebagaimana karyawan level menengah, beban kerja di luar jangkauan juga kenyataan yang harus ditelan. Sebagaimana kapitalis bergerak, nilai tukar yang diterima mau tak mau mengikuti standar. Singgungan antar manusia, kelompok, juga makanan sehari-hari. Jangan harap siapapun di mode belajar dan eksplorasi ini dapat menikmati ambisi hidup dalam memperbaiki ekonomi, karena tujuannya bukan itu.
Sebagai gantinya, pengalaman di perusahaan ini adalah salah satu pengalaman terbaik. Membangun koneksi, diskusi, eksplorasi, memori, emosi, dan bahkan saya sempat merasakan momen dibimbing oleh pimpinan public relations yang luar bisa. Seseorang yang akan selalu saya kenang atas gaya kepemimpinannya, walau hanya sebentar.
Entah karena tipe perusahaannya yang menjaga supply dana agar terus stabil, atau karena jenis perusahaannya yang merupakan salah satu pemain besar di negara ini, kegiatan marketing communications dan public relations-nya terbilang yang paling stabil dibanding 2 perusahaan lainnya.
Kestabilan dalam melakukan kegiatan pemasaran ini adalah berkah tak ternilai bagi seorang marketers. Maka dari itu, perusahaan besar, alias pemain lama, adalah tempat singgah terbaik untuk tingkat pemula. Apalagi jika Anda ingin memiliki pengalaman menjadi marketing communications atau public relations yang tajam. Asah pisau Anda di pengasah yang siap.
Jagonya Berproses
Walaupun perusahaan korporasi besar memang lebih mumpuni dalam membangun nama baik personal di atas kertas, bukan berarti perusahaan rintisan tidak dapat dijadikan ladang berproses. Justru karena ia masih baru, adu kesaktian bisa dilakukan di sini. Ini juga alasan mengapa sebagian besar perusahaan rintisan berani memberikan kompensasi besar ke karyawan. Tidak jarang juga merayu karyawan dari perusahaan ternama.
Kesempatan yang diberikan perusahaan rintisan untuk tim marketing communications-nya untuk berekspresi dan bergerak cenderung lebih besar dibanding perusahaan korporat. Alasan terbesarnya adalah minimnya lapisan birokrasi yang harus dilewati.
Momen (trend) adalah hal paling penting dalam kegiatan marketing communications dan panjangnya birokrasi ini akan mengurangi kesempatan tersebut. Sifat perusahaan rintisan yang pada umumnya sentralisasi alias pengambil keputusan ada di satu orang, akan memangkas banyak waktu di sini.
Hal-hal inilah yang dilihat oleh banyak orang sebagai ladang eksplorasi yang sesungguhnya. Eksplorasi di sini merujuk pada kecendurungan untuk dapat berekspresi. Sedangkan eksplorasi pada sub topik di sebelumnya merujuk pada kesempatan untuk memahami sebanyak-banyaknya.
Tujuan bisa saja sama, namun motivasi dan cara mencapainya bisa berbeda. Inilah yang menjadi pembeda mengapa ada seorang marketers yang lebih suka bekerja di perusahaan dengan sistem sentralisasi, dan juga sebaliknya. Satunya goal oriented, satu lainya process oriented.
Menurut catatan observasi dan wawancara langsung ke beberapa karyawan, jarang sekali saya menemukan seseorang yang bekerja di perusahaan rintisan karena “terjebak”, kebanyakan karena “pilihan independen” mereka sendiri. Mereka sadar, perusahaan yang masih centralized-system memang tidak akan dapat melakukan pemasaran masif. Justru kesadaran ini yang buat setiap diskusi marketing communication team terasa lebih dinamis.
Menariknya, hasil observasi saya menunjukkan data sebaliknya untuk perusahaan korporasi. Rata-rata karyawan yang bekerja di perusahaan korporasi besar mengeluh terjebak dalam keadaan. Alasan di baliknya cukup beragam, seperti sulit mencari pekerjaan atau mencari kestabilan. Asumsi saya, jawaban “sulit mencari pekerjaan” ini merujuk pada kesetaraan kelas perusahaannya yang memang saya amini keadaannya. Sedangkan jawaban “kestabilan” saya anggap kewajaran.*
*) Sekali lagi, inilah kelemahan observasi ini. Karena sifatnya yang kualitatif, saya tidak dapat mengumpulkan data kompeherensif di setiap subjek yang diwawancara. Sehingga rangkuman di atas memang bersifat rangkuman pengalaman.
Inilah alasan mengapa ada beberapa perusahaan rintisan baru kini turut mencantumkan poin “setidaknya memiliki pengalaman di perusahaan start-up”. Alasan terbesarnya, budaya kerja yang cukup bersebrangan, atau bahasa kasualnya, culture fit.
Bergabung di perusahaan rintisan atau penganut sistem sentralisasi untuk divisi marketing communication memang sangat menantang. Bisa juga jadi arena untuk membuktikan diri: jika berhasil akan membawa Anda pada pencapaian baru; jika masih butuh pengembangan akan membawa pada insight baru.
Sebelum itu, pastikan dulu Anda siap dengan kedinamisannya, yang biasanya tidak hanya dalam diskusi, tapi juga secara finansial perusahaan. Namun sekali lagi, bukankah proses adalah sesuatu yang dinamis, yang sayangnya tidak dimiliki setiap orang? Perspektif ada di tangan Anda.
Hidangan Penutup
Secara garis besar, yang dibutuhkan seorang marketing communications adalah tujuan bekerja. Tujuan akhir profesinya atau spesialisasinya. Menyadari bahwa berkarir adalah sebuah perjalanan bukan garis finish akan buat kita, marketers, paham bahwa setiap tempat bekarir memiliki kelebihan dan kekurangannya, sebagaimana mestinya kita juga sebagai manusia dan analisa SWOT.
Maka untuk membantu Anda mengingat rasa hidangan utama dan pembuka di atas, berikut poin-poin yang sudah saya siapkan.
Marketing Communications adalah posisi yang berlimpah di lowongan pekerjaan karena setiap perusahaan pasti membutuhkan marketing di dalamnya. Sayangnya tidak semua perusahaan siap dengan proses dan dana yang dibutuhkan.
Marketing Communications sebagian besar memang dapat diisi oleh lulusan di luar Ilmu Komunikasi dan Bisnis (Jurusan Marketing), namun perusahaan ternama biasanya meletakkan standar lulusan jurusan tersebut di tahap seleksi awal. Kecuali jika Anda sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun di bidang ini.
Untuk mempercepat kesempatan bekerja, menjadi marketing communications di perusahaan start-up (rintisan) memang lebih menggiurkan, terlebih lagi kesempatan naik jabatan lebih cepat dan besar. Sayangnya, proses pembangunan koneksi, belajar, dan kestabilan lebih menguntungkan di perusahaan besar dan ternama.
Perusaahan rintisan atau sistem sentralisasi memang menantnag, sangat cocok untuk seorang marketing communication berpengalaman yang haus akan kedinamisan dalam bekerja.
Karena peminatnya yang terus bertambah, siapapun yang berkomitmen di bidang ini harus terus mengasah diri dengan program sertifikasi dan pengalaman lainnya.
Selain kestabilan perusahaan, pemimpin tim marketing communications yang paham tujuan timnya akan sangat menentukan bagaimana performa timnya. Dengan kata lain, pemimpin tim pemasaran adalah kunci performa pemasaran perusahaan.
Di sisi lain, karena pekerjaan ini umumnya bersifat tim, beban kerja yang dirasakan harusnya tidak berat. Sayangnya, perusahaan yang tidak siap membangun tim marketing memilih memberikan beban tim dalam satu orang karyawan yang pada akhirnya berpotensi tidak memberikan dampak yang signifikan.
Saya pikir artikel ini sudah sampai di titik akhir. Dengan tujuan sebagai bahan pertimbangan, artikel ini juga memberikan kritik dan saran di setiap akhir sub-topik untuk mempermudah proses pengambilan keputusan. Akhir kata, terima kasih sudah membiarkan saya membantu. Semoga apapun hasil keputusan Anda akan membawa ke tujuan yang baik. Terima kasih.
Jika ada permintaan analisa lain, silakan bertanya ke email kerjaanindahangg@gmail.com dengan subjek “Bantu Analisa”.
Comments